![]() |
Ilustrasi tuak dan rokok | foto: MS |
SITANGGANG.net
Di sebuah sore yang lengang di sudut desa, seorang pria tua duduk di bale bambu. Di tangannya, segelas tuak buatan sendiri menghangatkan jemari yang mulai digerogoti usia. Di sudut bibirnya, sebatang rokok kretek mengepul perlahan. Aroma khas tembakau bercampur manis getir fermentasi tuak menari di udara, menciptakan suasana yang bagi sebagian orang adalah kenangan, bagi yang lain adalah kenyataan sehari-hari.
Tuak bukan sekadar minuman beralkohol tradisional. Ia adalah bagian dari identitas budaya di banyak daerah di Indonesia—mulai dari Batak di Sumatra Utara, Sumba dan Flores di Nusa Tenggara Timur, hingga Bali. Terbuat dari hasil fermentasi nira pohon aren atau kelapa, tuak sering hadir dalam berbagai upacara adat, mulai dari pernikahan, panen, hingga ritual keagamaan.
Dalam konteks sosial, tuak juga menjadi simbol kebersamaan. Ia disajikan saat diskusi malam, saat cerita rakyat diceritakan ulang, atau saat luka hati dibagi diam-diam dalam tawa para lelaki yang duduk melingkar. Tuak bukan hanya tentang rasa, melainkan tentang ikatan.
Rokok seringkali menjadi kawan setia segelas tuak. Bagi sebagian orang, sebatang rokok adalah pelipur lara, pemberi jeda dalam kesibukan, atau alat untuk "berpikir lebih jernih". Namun, di balik itu semua, kita tak bisa menutup mata terhadap sisi gelapnya.
Asap yang mengepul dari rokok membawa serta risiko yang nyata: penyakit paru-paru, jantung, bahkan kematian dini. Meski kesadaran akan bahaya rokok makin meningkat, di banyak wilayah pedesaan, sebatang rokok tetap menjadi bagian dari identitas maskulinitas dan kenikmatan hidup yang dianggap sederhana.
Ada semacam romantisme dalam memandang tuak dan rokok, keduanya sering muncul dalam cerita-cerita rakyat, dalam lagu-lagu daerah, bahkan dalam puisi-puisi modern. Namun, realitas juga tak kalah penting untuk dibicarakan.
Minuman beralkohol rendah seperti tuak, jika dikonsumsi berlebihan tanpa kontrol, bisa membawa dampak buruk pada kesehatan dan kehidupan sosial. Demikian pula rokok, yang meskipun terlihat sederhana, menyimpan konsekuensi serius terhadap kesehatan masyarakat.
Tuak dan sebatang rokok bukan sekadar benda. Mereka adalah simbol tentang tradisi, tentang kebersamaan, tentang cara masyarakat menyikapi hidup dan tawa, dengan rasa pahit, dengan kerendahan hati. Tetapi di balik simbol itu, penting juga untuk menyadari bahwa zaman telah berubah.
Menghormati tradisi tak berarti menutup mata terhadap perubahan. Dan mungkin, dari sana, kita bisa belajar untuk merayakan yang lama, tanpa mengabaikan yang baru, termasuk menjaga nilai, sambil menjaga diri.