Tentang Mencela

Gambar hanya ilustrasi

SITANGGANG.net

Tidak ada orang yang senang dicela apalagi dicelakakan. Ada macam alasan mengapa seseorang dicela. Mencela lebih dari sekadar mengkritik. Kalau mencela, nadanya tegas untuk memperlihatkan suatu kesalahan dari seseorang. 

Ketika seseorang tidak siap menerima celaan, ia bisa saja menyerang balik orang yang mencela tersebut. Namun, ada juga orang yang mencela orang lain tetapi tidak tahu bahwa dirinya sudah tercela. 

Itulah kelemahanku juga. Saya berusaha mencela yang lain supaya tertutupi ketercelaan saya. Dengan mencela orang lain tertutupilah borok sendiri. Sebenarnya itu tidak membuat borok yang mencela tersebut menjadi bersih. Justru tidak akan bersih karena kesombongan dan ketidaktahuan diri membuat diri makin pekat gelap.

Dalam Injil hari ini dikisahkan bahwa Yesus mencela orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Mengapa? Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat membuat ukuran paku mati terhadap orang lain tentang aturan. 

Bagi orang lain aturan itu adalah beban berat. Namun, bagi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, itu tidak beban karena mereka bisa menafsirkan dan membuat segala-galanya berdasarkan kuasa dan posisi serta kebutuhan mereka. 

Merekalah yang menentukan segala-galanya karena jabatan yang mereka sandang. Rakyat biasa hanya tunduk dan manggut-manggut mengiyakan semuanya. 

Itulah yang dicela Yesus. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat senang membebani orang lain. Mereka menimpa orang lain dan menikmati penindasan terhadap orang lain. Padahal, mereka tahu hukum dan aturan yang mereka sebut-sebut berasal dari Allah. 

Allah mana yang senang melihat umat-Nya tertindas?  Marilah kita berdoa: "Tuhan, semoga kami mencintai-Mu dengan bebas agar kami mampu memerdekakan sesama dan bukan membebani"

(Pastor Walden Sitanggang, OFMCap)
Lebih baru Lebih lama