Sitanggang.net
Dalam pertemuan Konferensi Perdamaian di Paris, Jumat (3/6) lalu yang dihadiri 29 negara dan organisasi internasional, Presiden Prancis Francois Hollande menyakini akan ada hasil nyata dari pertemuan itu.
Sebagaimana diansir The Independent, Presiden Prancis Hollande berharap Israel dan Palestina akan bersedia kembali merundingkan peta damai sebelum 2017. "Perdamaian kedua negara adalah tujuan utama pertemuan ini. Dan sekarang adalah upaya mempercepat proses perdamaian Israel-Palestina," kata Hollande.
Menurut Hollande, apabila Israel dan Palestina berdamai maka situasi Timur Tengah akan relatif membaik. Pertempuran yang terus terjadi di wilayah Yerusalem dan Jalur Gaja menjadi perhatian serius Negara negara Barat, termasuk perang saudara di Suriah dan teror negara-negara yang kaya akan minyak.
Presiden Prancis | Net |
Apabila inisatif damai Arab Saudi 2002 menuju ke meja perundingan dan ditandatangani bersama, maka Negara Palestina dan sekutu mengakui kedalautan Negara Israel dengan catatan pasukan Negeri Zionis harus ditarik mundur dari wilayah pendudukan pasca-1967, lalu membantu pembentukan negara Palestina berdaulat di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Dalam pertemuan tersebut ternyata perwakilan kedua Negara (Palestina dan Israel) sengaja tidak diundang. Hal itu dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. "Kalau perwakilan kedua Negara diundang, maka diskusi yang terjadi paling hanya lima menit," ucap Jean-Marc Acrault.
Sementara Perdana Menteri Israel menganggap Konferensi Damai di Paris sebagai sesuatu yang negatif, pasalnya aktor utama seperti Israel dan Palestina tidak diundang. Menurut dia, Konferensi itu hanyalah pemaksaan yang memberikan keluasan bagi pihak Palestina bertindak seenaknya. "Perdamaian di kawasan bukan berasal dari konferensi internasional seperti itu," kata Netanyahu.
Akibat kerasnya sikap Isreal, Negara itu mendapat sanksi ekonomi. Sementara yang menjadi sekutu Israel di PBB hanyalah Negara Amerika Serikat.
Dalam Konferensi Paris itu turut dihadiri Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, dan Utusan Khusus Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini. Kemudian ikut juga Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno L.P Marsudi.