Skandal Penyelundupan Senpi Paspampres

Sitanggang.net - Samosir

Sejumlah personel Paspampres dijatuhi hukuman disiplin karena terlibat penyelundupan senjata api dari Amerika Serikat. Senjata itu diduga dimasukkan melalui rombongan kenegaraan.

Kunjungan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Amerika Serikat, yang dilakukan terpisah pada rentang September-Oktober 2015, berbuntut tak sedap. Kunjungan itu diwarnai kasus penyelundupan senjata oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

JK bertandang ke Amerika dalam rangka mewakili Jokowi pada 23 September hingga 4 Oktober 2015. Ia menghadiri sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Sedangkan Jokowi berkunjung ke AS untuk bertemu dengan Presiden Amerika Barack Obama pada 26-28 Oktober 2015.

Tiga personel Paspampres terlibat dalam kasus itu, yakni Erlangga Perdana Gassing, Danang Prasetyo Wibowo, dan Arief Widyanto. Nama mereka tercatat dalam berkas persidangan kasus senjata ilegal No. 1:16-cr-00007 di Pengadilan Distrik New Hampshire pada 5 Juli 2016.

Persidangan itu menyeret seorang tentara Angkatan Darat Amerika keturunan Indonesia, Sersan Audi A. Sumilat, sebagai terdakwa. Dokumen sidang yang diperoleh detikX menyebutkan, Sumilat mengaku bersalah telah memasok senjata kepada Paspampres tanpa prosedur resmi.

“Terdakwa (Sumilat) mengaku bersalah sesuai dengan salah satu dakwaan, yakni konspirasi membuat laporan palsu dalam kepemilikan senjata. Terdakwa sengaja membuat keterangan salah dalam rekam lisensi kepemilikan senjata untuk menyelundupkan barang dari AS,” tulis dokumen setebal 19 halaman itu.

Yang jelas, kalau lewat grup inti Presiden atau Wapres, penyelundupan pistol bisa lebih mudah."

Sumilat membeli lima pistol di toko senjata El Paso Gun Exchange, Texas. Harganya US$ 200-300 atau Rp 2,6-3,9 juta tiap pucuknya.

Setiap pembeli senjata api di AS harus mengisi formulir pernyataan yang dikeluarkan oleh Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak AS (AFF). Sumilat menjawab “ya” untuk pertanyaan dalam formulir apakah ia adalah pembeli sebenarnya.

Tentara yang berdinas di Pos Angkatan Darat Fort Bliss, El Paso, itu lantas mengirim lima pistol plus dua pistol lainnya ke toko senjata Renaissance Firearms, Rochester, New Hampshire, untuk diambil Feky Ruland Sumual.

Paman Sumilat itu juga membeli 15 senjata api dengan modus penipuan yang sama. Senjata itu dibeli dari beberapa dealer resmi di New Hampshire, yakni State Line Guns, Ammo & Archery, Sig Sauer Academy, dan Kittery Trading Post.

Sehingga total senjata yang dibeli pada 21 September hingga 23 Oktober 2015 itu berjumlah 22 buah. Jenisnya Glock Model 17, Glock Model 19, Glock Model 43, dan pistol Heckler & Koch Model P30L.

Berkas persidangan tak memaparkan detail penyerahan senjata itu kepada anggota Paspampres. Sumual disebut melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya di New Hampshire ke Washington, DC, dan New York dalam rentang waktu yang sama saat senjata-senjata itu dibeli.

Sumual singgah sekitar satu jam dalam setiap kedatangannya ke Washington dan New York. Data tersebut didapatkan penyidik dari rekam kartu tol dan kartu debit. “Presiden Indonesia saat itu sedang melakukan kunjungan resmi ke AS dari tanggal 25 hingga 28 Oktober 2015,” tulis dokumen itu.

Lalu, sebelumnya, berdasarkan rekam jejak diplomatik sebagai anggota Paspampres, Erlangga diketahui berkunjung ke Amerika pada 20-30 September 2015. Ia berada di gedung PBB pada waktu JK mengikuti sidang di tempat tersebut.

Sedangkan dua anggota Paspampres lainnya, yakni Danang dan Arief, terdeteksi mentransfer uang ke rekening Sumual pada rentang waktu 9 hingga 23 Oktober 2015. Transfer tersebut sebesar US$ 26 ribu atau sekitar Rp 340 juta.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan pihaknya masih menyelidiki apakah pistol tersebut diselundupkan melalui pesawat kepresidenan. Yang jelas, katanya, kalau lewat grup inti Presiden atau Wapres, penyelundupan pistol bisa lebih mudah.

Namun juru bicara Presiden, Johan Budi, membantah bila dikatakan bahwa pesawat kepresidenan digunakan untuk mengangkut senjata ilegal. Jokowi ke AS pada Oktober 2015, sedangkan pengadilan menyebutkan transaksi jual-beli dilakukan sejak September. “Dipastikan tak melalui pesawat kepresidenan,” katanya.

Rencana pembelian senjata itu sebetulnya sudah lama disusun. Tepatnya saat Sumilat bertemu dengan Erlangga, Danang, dan Arief dalam latihan bersama di Fort Benning, Georgia, AS, pada 2004. Ketiga anggota Paspampres itu tengah mengikuti pertukaran latihan tentara.

Mendapat order, Sumilat lantas mengatur agar Erlangga berkomunikasi langsung dengan Sumual. Keduanya aktif berkomunikasi melalui Facebook. Mereka berbincang mengenai senjata apa yang ingin dibeli, ketersediaan senjata, serta pembayaran yang akan dilakukan.

Jual-beli ini nyaris berjalan mulus. Sayangnya, istri Sumual, Tuti Budiman, mengendus rencana rahasia suaminya. Tuti sakit hati karena Sumual berniat pulang ke Indonesia dan hidup bersama kekasih gelapnya di Indonesia.

Tuti-lah yang membeberkan rencana jual-beli senjata yang terekam dalam percakapan Facebook itu. Ia membawa hasil beberapa bukti percakapan tersebut saat melapor ke Kepolisian Dover, New Hampshire, pada 11 November 2015.

Alhasil, Sumilat dan Sumual ditangkap FBI. Sumilat tinggal menunggu vonis pada 11 Oktober mendatang. Ia diancam hukuman lima tahun penjara dan denda maksimal US$ 250 atau Rp 3,3 miliar. Sedangkan Sumual baru akan diajukan ke pengadilan pada 19 Juli ini.

Adapun Polisi Militer TNI sebetulnya sudah mengendus kasus itu dan melakukan pemeriksaan sejak Mei 2016. Sebanyak 22 senjata yang diselundupkan bukan cuma dipakai oleh ketiga personel Paspampres.

Pada akhirnya, delapan personel Paspampres terbukti menguasai senjata ilegal tersebut. Namun mereka tak diproses hukum. Hanya dikenai hukuman disiplin. “Kena sanksi administrasi, melanggar disiplin. Atasan yang berhak menghukum, Komandan Paspampres,” kata Gatot.

Saat ini Komandan Paspampres dijabat oleh Brigjen (Marsekal) Bambang Suswantono. Kasus ini terjadi ketika Komandan Paspampres dijabat oleh Mayjen Andika Perkasa, yang kini menjabat sebagai Pangdam XII Tanjungpura. Keduanya enggan memberi jawaban atas masalah ini.

Jika melihat ketentuan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api, ancaman hukuman atas kejahatan senjata ilegal adalah hukuman mati, penjara seumur hidup, atau setinggi-tingginya 20 tahun penjara.

Seorang sumber detikX juga mengatakan hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada Erlangga dan kawan-kawan cukup istimewa karena mereka berstatus perwira menengah dan perwira pertama. Jika mereka anggota biasa, sudah pasti dipecat. Namun Erlangga mengalami nasib apes karena kariernya tak bakal menyentuh jabatan jenderal.

“Sanksi disiplin ini sebenarnya berat juga karena, secara karier, untuk naik ke jenderal, agak sulit nantinya,” ujarnya.

Dari penelusuran detikX, Erlangga merupakan anak Mayor Jenderal (Purnawirawan) Idris Gassing (almarhum), mantan Panglima Kodam I Bukit Barisan. Sedangkan Mayor Infanteri Danang Prasetyo Wibowo merupakan anak mantan Panglima Kostrad Mayjen (Purnawirawan) Erwin Sudjono.

Wakil Ketua Hukum, Etika, Disiplin, dan Advokasi Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin) Henry Yosodiningrat mengingatkan, prosedur kepemilikan senjata untuk pribadi harus melalui Polri. Perjanjian jual-beli pun turut dilampirkan karena menentukan peruntukan kepemilikan senjata itu.

“Itu kan bukan untuk kesatuan (TNI), tapi pribadi. Kalau pribadi, itu harus dilihat apakah dia sudah pamen (perwira menengah). Minimal sudah kolonel atau belum. Dan harus ada izin dari Polri, karena TNI tidak boleh keluarkan izin,” tuturnya.

Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, memberikan peringatan yang sama. Menurut dia, ada prosedur yang dilanggar dalam kepemilikan senjata api oleh Paspampres itu.

“Membawa barang yang dilarang oleh negara masuk melintasi wilayah sebuah negara melalui sarana diplomasi itu jelas tidak boleh,” ucapnya.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Tatang Sulaiman berdalih, pembelian senjata di AS dilakukan secara legal. Hanya, kelengkapan administrasi di Indonesia saja yang tidak ditindaklanjuti. Prajurit yang memiliki senjata api harus melapor kepada atasan untuk mengurus izin ke Mabes Polri dan Perbakin.

"Hasil pemeriksaannya, pembelian senjata ini sebenarnya legal, ada fakturnya. Hanya saja, prosedur berikutnya tidak diikuti dengan benar," katanya kepada detikX.

Tatang juga menjamin, senjata yang dibawa dari AS itu tidak dipakai untuk macam-macam. Hanya untuk hobi menembak. Selain mumpuni dalam hal intelijen dan tempur, personel Paspampres mempunyai mental bagus dan loyalitas yang tinggi.

"Tidak dimungkiri memang ada anggota yang punya hobi menembak. Mungkin yang bersangkutan ingin memiliki senjata tersebut karena keandalannya," ujar Tatang.

Rubrik Investigasi mengupas isu panas terbaru yang mendapat perhatian besar publik secara mendalam. Isu ini mencakup politik, hukum, kriminal, dan lingkungan.

Sumber: x.detik.com
Lebih baru Lebih lama