Ilustrasi | Rumah sakit Covid-19 |
SITANGGANG.net
Gelombang ke 4 Covid-19 yang melanda negara Jepang membuat sejumlah rumah sakit di kota kedua terbesar Jepang, Osaka, kehabisan tempat tidur dan ventilator.
Direktur RS Universitas Kindai, Osaka, Yuji Tohda, mengatakan pihaknya kewalahan menghadapi lonjakan pasien Covid-19 dua bulan menjelang pergelaran Olimpiade.
"Sederhananya, ini adalah sistem medis yang kolaps. Varian Inggris yang menular dan kesadaran yang menurun menyebabkan ledakan pasien (Covid-19) ini," kata Yuji mengutip Reuters.
Osaka saat ini sedang berada dalam gelombang keempat pandemi. Tercatat, Osaka menyumbang sepertiga dari jumlah keseluruhan angka kematian akibat Covid-19 di Jepang.
Sampai Kamis lalu, 96 persen dari 348 tempat tidur di RS di Osaka telah digunakan untuk pasien Covid-19.
Seorang pemasok obat menceritakan kepada Direktur RS Universitas Medis dan Farmasi Osaka (OMPUH), Toshiaki Miami, bahwa stok propofol, obat yang digunakan untuk menenangkan pasien yang diintubasi, semakin sedikit.
Selain itu, RS Tohda juga kekurangan ventilator untuk merawat pasien Covid-19 yang masuk kategori parah.
Para staf medis yang merawat pasien kritis juga berisiko tertular dan berdampak serius, kata kepala departemen perawat di OMPUH, Satsuki Nakayama.
Saat ini, sekira 500 dokter dan 895 perawat bekerja di OMPUH. Satsuki mengatakan bahwa mereka butuh personel tambahan untuk membantu tim medis yang mulai kewalahan.
"Ada beberapa staf di unit perawatan intensif (ICU) yang mengatakan mereka sudah kewalahan. Saya pikir perlu ada pergantian personel untuk mengikutsertakan orang dari bagian lain di rumah sakit," kata Satsuki.
RS itu sendiri memiliki 832 tempat tidur. Sebanyak 10 dari 16 ICU digunakan untuk pasien Covid-19. Sekitar 20 dari 140 pasien dengan kategori parah yang dibawa ke rumah sakit, meninggal di ICU.
Karena kekurangan tempat di rumah sakit ini, hanya 14 persen dari 13.770 pasien Covid-19 di Osaka yang dirawat di RS. Sebagian keluar dari RS dan berjuang sendiri.
Jepang, khususnya Osaka, sebenarnya termasuk negara yang aman dari lonjakan Covid-19 ketimbang daerah lain.
Meski demikian, Osaka baru-baru ini dihantam gelombang keempat Covid-19 dengan laporan 3.849 kasus dalam seminggu hingga Kamis (20/5). Jumlah itu naik lima kali lipat dalam periode yang sama pada tiga bulan lalu.
Ketua serikat pegawai pemerintah daerah, Yasunori Komatsu, mengatakan bahwa lonjakan kasus yang terjadi di Osaka merupakan kondisi mengerikan bagi petugas di medis. Hal itu karena mereka menjadi penghubung antara masyarakat dan institusi medis.
"Beberapa dari mereka bekerja lembur hingga 100, 150, 200 jam, dan telah berlangsung selama setahun. Ketika bertugas, mereka kadang pulang jam 1 atau 2 dini hari untuk tidur, lalu ditelepon pada pukul tiga atau empat," katanya.
Para tengaga medis pun mendesak agar penyelenggaraan Olimpiade Tokyo pada 23 Juli-8 Agustus mendatang dibatalkan.
"Olimpiade harus dihentikan karena kita gagal untuk menghentikan laju penularan baru dari varian Inggris, dan selanjutnya mungkin masuk varian India," ujar kepala pengobatan darurat di OMPUH, Akira Takasu.
"Di Olimpiade, 70 ribu atau 80 ribu atlet dan orang-orang akan datang ke negara ini dari seluruh dunia. Ini mungkin menjadi pemicu bencana lain di musim panas."
Kehadiran varian Covid-19 baru memang menjadi kendala tersendiri bagi petugas medis. Direktur RS Universitas Medis dan Farmasi Osaka, Toshiaki Miami mengatakan bahwa varian-varian baru Covid dapat menyerang anak muda dengan lebih cepat.
"Saya percaya hingga sekarang banyak anak-anak muda berpikir bahwa mereka tak akan terinfeksi. Namun, tak boleh ada lagi pemikiran itu sekarang. Semua orang memiliki risiko yang sama," ucapnya.
Sampai saat ini, menurut data John Hopkins University, kasus Covid di Jepang mencapai 716 ribu dengan angka kematian 12.203. (cnn/s)