Manusia Tanpa Empati Berselimut Rasa Iri

Ilustrasi
Sitanggang Pos - Samosir

Perasaan ku berkecamuk, aku ikut sedih waktu melihatnya dalam kondisi pedih. Dia yang "ditekan", kok aku yang jadi susah makan. Dia punya status miris, kenapa hatiku bagai teriris.

Demikian diucapkan seorang pria kelahiran medan waktu berkunjung ke aek rangat Siogungogung Kecamatan Pangururan beberapa waktu lalu saat berbincang ringan denganku.

Kesulitan batin akan terasa bagi Anton tatkala mengetahui temannya bersanding dengan sekelumit persoalan. Menurut Anton, perasaan itu dianggapnya sebagai sebuah penyakit. "Sory lae, saya bukan LGBT, saya hanya kadang tidak suka atau sering terlibat emosional kalau teman atau rekan saya terganggu," katanya sembari menawarkan sebatang rokok kepadaku.

Lantas, Anton bertanya, menurutmu perasaan itu disebut apa?. Apakah itu sebuah penyakit?, atau barang kali sejenis makanan ringan," katanya sambil tertawa lepas.

Anton yang pernah lama menjabat sebagai Ketua sebuah OKP di Tanah Merah Jakarta Utara itu menyebutkan, pertemanan atau persahabatan bukan lah hanya sekedar kata dan bahasa. Namun ekspresi itu akan tampak terlihat dari bahasa perasaan yang diaplikasikan pada perbuatan di dalam kehidupan sehari-hari.

"Bersahabat dan berkawan bukan ngomong doank, bukan pula kasihan melihat kawan yang ditimpa persoalan, apalagi sampai iri jika kawan mendapat rembang pati. Bersahabat itu lebih kepada empati, bukan simpati apalagi sampai menjurus rasa iri," kata pria setengah baya itu.

Rasa iri sebenarnya adalah animo yang harus dihilangkan. Karena rasa iri akan melahirkan demagogi yang dapat menjatuhkan orang lain. Sikap iri sebenarnya deviasi yang pasti pada seseorang, namun hal itu dapat berubah positif tergantung diarahkan kemana.

Rasa iri itu penting, karena dapat dijadikan sebagai alat untuk memotivasi. Jika kita melihat seseorang lebih baik, lebih unggul, maka kita akan iri. Rasa Iri itu kemudian kita bawa dalam alur positif sehingga kita harus berusaha untuk bisa menyamai orang yang kita iri, dan menjadikannya sebagai motivasi hidup dalam mencapai keberhasilan.

Namun fakta hidup justru berkata lain. Sebagaimana dikatakan Plautus, Manusia lebih mengarah kepada istilah homo homoni lupus. Manusia akan terus menjadi srigala bagi manusia lainnya. Manusia akan mengorbankan manusia lainnya demi pencapaian tujuan tanpa mengenal rasa kemanusiaan. 

Sejak zaman old, istilah ini telah dikumandangkan. Dan fenomena ini telah terjadi sampai saat ini. Dibalut rasa iri, hasrat "menguyah" sesama manusia masih terus terjadi.

Manusia tanpa empati dan berselimut rasa iri haruslah segera dikikis habis. Agar kehidupan berjalan sesuai dengan keinginan hati. Rasa empati akan menjadi alat untuk menghempang rasa iri. Sebab iri dan dengki bukanlah hal yang baik. Meski dalam diri manusia sejak dahulu, bibit iri telah ada dalam diri.
Lebih baru Lebih lama